BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan islam adalah pendidikan yang sangat ideal, pendidikan
islam tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya dakwah islam yang telah
dilakukan nabi muhammad SAW. Berkaitan dengan itu pula pendidikan islam
memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan
yang dilakukan terus menerus pasca generasi nabi, sehingga dalam perjalanan
selanjutnya, pendidikan islam terus mengalami perubahan baik dari segi
kurikulum maupun dari segi lembaga pendidikan islam yang dimaksud.
Penelitian merupakan salah satu cara melakukan usaha-usaha
perbaikan dan pembaharuan.Ilmu tidak akan bertambah maju jika tanpa adanya
penelitian dan pembaharuan. Upaya penelitian tersebut sebenarnya telah
dilakukan oleh para ulama masa lalu, termasuk masalah pendidikan. Upaya
penelusuran terhadap pemikiran para tokoh berkaitan dengan pendidikan,
khususnya pendidikan islam.
2.
Rumusan Masalah
1.
Siapakah
tokoh-tokoh pendidikan islam masa klasik diluar indonesia?
2.
Siapakah
tokoh-tokoh pendidikan islam di indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
Generasi Klasik
1.
Imam Ghazali
a.
Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad Al-ghozali. Ia
dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, Pada tahun 450 H / 1058 M.
Imam Ghazali sejak kecil dikenal sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan
penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita,
dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara.
Al-ghazali pada masa kanak-kanak belajar fiqh kepada Ahmad ibn
Muhammad Ar-Radzakani, kemudian beliau pergi ke Jurjan berguru kepada Imam
Abu Nashr Al-Ismaili. Setelah itu ia menetap lagi di Thus untuk mengulang-ulang
pelajaran yang diperolehnya dari Jurjan.
b.
Pemikiran Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghozali harus mengarah kepada
realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan
keutamaan dan taqarrub kepada Alloh dan
bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia.
Sebagaimana yang dikutip Athiyyah Al-Abrasyi bahwa Imam Al-Ghazali berpendapat
“ Sesungguhnya tujuan dari pendidikan ialah mendekatkan diri kepada Alloh
Azza Wa jalla “.
Al-Ghazali tidak membedakan antara ilmu dengan Ma’rifah seperti
tradisi umum kaum shufi. Memang ia pernah menyebutkan bahwa secara etimologi,
ada sedikit perbedaan antara keduanya, dan ia tidak keberatan atas pemakaian
tema Ma’rifah untuk konsep (Tasawuf), dan ‘ilm untuk assent (tasqiq). Akan
tetapi dalam berbagai kitabnya, ia sering memakai dua terma itu sebagai arti
yang sama.
2.
Ibn Sina
a.
Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Al-Husayn Ibn Abdullah, di barat
populer dengan sebutan Avicenna. Beliau lahir pada tahun 370 H / 980 M di
Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat Bukhara, dikawasan Asia Tengah.
Ayahnya bernama Abdullah dari Balkan, suatu kota termasyhur dikalangan
orang-orang Yunani. Diwafatkan di Hamdzan-sekarang Iran, Persia. Pada tahun 428
H (1037 M) dalam usia yang ke 58 tahun, ia wafat karena terserang penyakit usus
besar.
Tampilnya Ibn Sina selain sebagai ilmuan yang terkenal didukung
oleh tempat kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya yang
dikenal sebagai pejabat tinggi, juga karena kecerdasannya yang luar biasa.
Sejarah mencatat bahwa Ibn Sina memulai pendidikannya pada usia lima tahun
dikota kelahirannya, Bukhoro. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari ialah
membaca Al-Qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu
agama islam seperti Tafsir, fiqh, Ushuluddin, dan lain-lain. Berkat ketekunan
dan kecerdasannya ia berhasil menghafal Al-Qur’an dan menguasai berbagai cabang
ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.
b.
Pemikiran Pendidikan
Ibn Sina banyak kaitannya dengan pendidikan, Barangkali menyangkut
pemikirannya tentang filsafat ilmu. Menurut Ibn Sina terbagi menjadi 2, yaitu :
1.
Ilmu
yang tak kekal
2.
Ilmu
yang kekal
Ilmu yang kekal dari peranannya sebagai alat dapat disebut logika.
Tapi berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis
dan ilmu yang teoritis.
Tujuan
pendidikan menurut Ibn sina, Yaitu :
1.
Diarahkan
kepada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang menuju perkembangan
yang sempurna baik pperkembangan fisik, intelektual maupun Budi Pekerti.
2.
Diarahkan
pada upaya dalam rangka mempersiapkan seseorang agar dapat hidup bersama-sama
di masyarakat dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya
disesuaikan dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
3.
Tujuan
pendidikan yang bersifat keterampilan, yang artinya mencetak tenaga pekerja
yang profesional.
3.
Ibn
Khaldun
a.
Riwayat Hidup
Ditengah konflik yang terjadi diantara kerajaan-kerajaan kecil,
kerajaan bani Abdul Wad Az-zanatiyah terkena musibah dan bencana yang berasal
dari kerajaan tetangganya, yakni
kerajaan Bani Hafzh yang berada di Tunisia. Dalam suasana itu Ibn Khaldun lahir
di Tunisia awal Ramadhan tahun 732 H, dengan keluarga besar berbangga dengan
nashab arabnya yang berasal dari Hadramaut, Yaman.
Ibn Khaldun tumbuh dan berkembang sebagai orang yang mencintai
ilmu. Pertama-tama ia menghafal Al-Qur’an lewat bimbingan ayahnya sendiri. Lalu
kemudian ia mempelajari ilmu Hadits, ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Bahasa, Sastra,
Sejarah, selain mempelajari filsafat dan ilmu Mantiq (Logika).
b.
Pemikiran Pendidikan
Ibn Kaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara jelas, ia
hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan Ibn Khaldun
bahwa “ Barang siapa tidak terdidik oleh orang tuanya, Maka akan terdidik oleh
zaman, maksudnya barang siapa yang tidak memperoleh tatakrama yang dibutuhkan
sehubungan pergaulan bersama melalui orangtua mereka yang mencakup guru-guru
dan para sesepuh, dan tidak mempelajari
hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengatakannya.
Dari rumusan yang ingin dicapai Ibn Khaldun menganut prinsip
keseimbangan. Ia ingin anak didik mencapai kebahagiaan duniawi dan sekaligus
ukhrawinya kelak. Berangkat dari pengamatan terhadap rumusan tujuan pendidikan
yang ingin dicapai Ibn Khaldun, Secara jelas kita dapat melihat bahwa ciri khas
pendidikan islam yaitu sifat moral religius nampak jelas dalam tujuan
pendidikannya, dengan tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi. Sehingga
secara umum kita dapat katakan bahwa pendapat Ibn Khaldun tentang pendidikan
telah sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan islam yakni aspirasi yang
bernafaskan moral dan agama. Ibn Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan
pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan
melakukan aktivitas.
4.
Ikhwan
As-Shafa
a.
Riwayat Hidup
Ikhwan As-Shafa ( Persaudaraan ) adalah organisasi dari para filsuf
arab muslim, yang berpusat di Basrah, Irak, yang saat itu merupakan ibukota
kekhalifahan abassiyah sekitar abad ke-10 masehi. Kelompok yang berdiri di
Bashrah kira-kira tahun 373 H / 983 M ini, terkenal dengan risalahnya, yang
memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka. Nama lengkap
kelompok ini adalah Ikhwan Al-Shafa wa khullan Al-Wafa Wa Ahl Al-Hamd Wa
Abna’ Al-Majd, Sebuah buku yang sangat mereka hormati “ Khalilah wa Dimnah”.
Kemunculan Ikhwan As-Shafa dilatarbelakangi oleh keprihatinan
terhadap pelaksanaan ajaran islam yang telah tercemar oleh ajaran-ajaran luar
islam, Serta untuk mengembalikan kembali
rasa cinta pada ilmu pengetahuan. Organisasi ini sangat merahasiakan
anggotanya. Mereka bekerja dan bergerak secara rahasia, Disebabkan kekhawatiran
akan tindak penguasa waktu itu yang cenderung menindas gerakan-gerakan yang
timbul.
Disamping itu juga, kelompok Ikhwan Al-Shafa mengklaim dirinya
sebagai kelompok Non-Partisan, Objektif, Ahli pencinta kebenaran, Elit
intelektual dan solid kooperatif. Mereka mengajak masyarakat untuk menjadi
kelompok orang-orang mu’min yang militan, untuk beramar ma’ruf Nahi Munkar.
b.
Pemikiran Pendidikan
Ikhwan Al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan
(Muktasabah), Bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu
yang demikian didapat dengan panca indra. Ikhwan Al-Shafa menolak
pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah Markuzah (Harta Tersembunyi)
sebagaimana pendapat Plato yang beraliran Idealisme.
Dalam mempelajari Ilmu Pengetahuan, Ikhwan Al-Shafa mencoba
meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan
jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu
agama (Naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum ( Aqliyah). Dalam
hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama
dengan ilmu-ilmu Aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat.
A.
Generasi Modern
1.
KH. Ahmad Dahlan
a.
Riwayat Hidup
Kyai Haji Ahmad Dahlan yang pada waktu kecilnya bernama Muhammad
Darwis. Beliau dilahirkan di Kauman Yogyakarta dari pernikahan KH.Abu Bakar
dengan Siti Aminah pada tahun 1285 H (1868 M ). KH. Abu Bakar adalah Khatib di
masjid Agung kesultanan Yogyakarta, sedangkan ayahnya siti aminah adalah
penghulu besar di Yogyakarta.
Kampung kauman sebagai tempat kelahiran dan tempat Muhammad Darwis
dibesarkan merupakan lingkungan keagamaan yang sangat kuat, yang berpengaruh besar
dalam perjalanan hidup Muhammad Darwis dikemudian
hari. Ayahnya KH Abu Bakar adalah khotib Masjid Agung Yogyakarta. KH Ahmad
Dahlan belajar mengaji sekitar tahun 1875 dan masuk pesantren. Sudah sejak
kanak-kanak diberikan pelajaran dan
pendidikan agama oleh orang tuangya, oleh para guru (Ulama ) yang ada di dalam
masyarakat lingkungannya. Ini menunjukkan naluri melainkan juga melalui
ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya.
Pengetahuan yang dimiliki sebagian besar merupakan hasil
otodidaknya, kemampuan membaca dan menulisnya diperoleh dari belajar kepada
ayahnya, sahabatnya dan saudara-saudaranya dan iparnya. Ia dididik sendiri
melalui cara pengajian yaitu dengan menirukan kalimat-kalimat atau bacaan yang
diajarkan oleh ayahnya.
b.
Pemikiran Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat
islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah
melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama
dalam proses pembangunan umat. Menurut KH.Ahmad Dahlan, Pendidikan islam hendaknya
diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim
dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia
berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
Berangkat dari tujuan pendidikan
tersebut, KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi
pendidikan hendaknya meliputi :
1). Pendidikan Moral, Akhlak yaitu sebagai usaha menanamkan
karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunah.
2). Pendidikan Individu, Yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental
dan gagasan, Antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan Akhirat.
3). Pendidikan Kemasyarakatan, Yaitu sebagai usaha untuk
menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
2.
KH. Hasyim Asy’ari
a.
Riwayat Hidup
Hasyim Asy’ari lahir di desa gedang, jombang, Jawa timur. Pada hari
selasa kliwon, pada tanggal 24 Dzulhidjjah 1287 atau bertepatan tanggal 14
Februari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim Ibn Asy’ari Ibn Abd.
Al- Wahid ibn Abd. Al-Halim yang mempunyai gelar pangeran Bona ibn Abd.
Al-Rahman ibn Abd Al Aziz Abd. Al Fatah Ibn maulana ishak dari Raden Ain Al
Yakin yang disebut dengan sunan Giri.
Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan raja muslim jawa, jaka
tingkir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI, jadi Hasyim Asy’ari juga
dipercaya keturunan dari keluarga bangsawan .
Hasyim Asy’ari adalah seorang kyai yang pemikiran dan sepak
terjangnya berpengaruh dari Aceh sampai Maluku, bahkan sampai ke Melayu. Santri-santri
ada yang dari Ambon, Sulawesi, Kalimantan, sumatera dan aceh, bahkan ada
beberapa orang dari Kuala Lumpur. Beliau
terkenal orang yang alim dan
adil, selalu mencari kebenaran, baik kebenaran dunia maupun kebenaran akhirat.
Semasa hidupnya beliau diberi kedudukan sebagai Rais Akbar NU, suatu jabatan
yang hanya diberikan kepada Hasyim Asy’ari satu-satunya. Bagi ulama lain yang
menjabat jabatan tersebut, tidak lagi menyandang sebutan sebagai Rais Akbar
melainkan Rais Am. Hal ini karena ulama lain yang menggantikannya merasa lebih
rendah dibandingkan Hasyim Asy’ari.
b.
Pemikiran Pendidikan
Pola pemaparan konsep pendidikan KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab
Alim wa muta’allim mengikuti logika induktif, dimana beliau mengawali
penjelasannya langsung dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits, pendapat
para Ulama, dan syair- syair yang mengandung hikmah. Dengan cara ini, KH Hasyim
Asy’ari memberi pembaca agar menangkap ma’na tanpa harus dijelaskan dengan
bahasa beliau sendiri. Namun demikian,ide-ide pemikirannya dapat dilihat dari
bagaimana beliau memaparkan isi kitab karangan beliau.
Tujuan pendidikan yang ideal menurut KH Hasyim Asy’ari adalah untuk
membentuk masyarakat yang beretika tinggi ( Akhlaqul Karimah ). Rumusan ini
secara implisit dapat terbaca dari beberapa Hadits dan pendapat ulama yang
dikutipnya. Beliau menyetir sebuah Hadits yang berbunyi : “ diriwayatkan dari
Aisyah R.a dari Rosululloh SAWbersabda :
Kewajiban orang tua terhadapnya adalah membaguskan namanya, membaguskan ibu
susuannya, dan membaguskan etikanya”.
3.
Hamka
a.
Riwayat Hidup
“
Hamka bukan hanya milik bangsa indonesia, tetapi kebanggaan bangsa-bangsa asia
tenggara “. Begitulah kata mantan perdana menteri malaysia, Tun Abdul Rozak.
Nama aslinya ialah Haji Abdul Malik Karim Amrulloh biasa disebut dengan HAMKA
yang merupakan singkatan dari nama panjang beliau. Beliau lahir di Maninjau,
Sumatera barat pada tanggal 16 Februari 1908 M / 13 Muharram 1326
H. Belakangan ia diberikan sebutan
Abuya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata Abi, Abuya yang berarti Ayahku atau
orang yang dihormati. Ayahnya adalah Syech Abdul Karim Ibn Amrulloh, yang
dikenal dengan Haji Rosul dan merupakan pelopor Gerakan islah (tajdid) di
minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada 1906.
Sejak kecil ia menerima dasar-dasar agama dari sang ayah. Pada usia
6 tahun, ia dibawa ayahnya ke padang panjang. Pada usia 7 tahun, ia dimasukan
ke sekolah desa dan malamnya ia belajar
mengaji Al-Qur’an sampai khatam. Beliau
sekolah dasar “ Maninjau sehingga Darjah Dua” kemudian pada usia 10 tahun,
Ayahnya mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang bernama “Sumatera Thawalib”
di padang panjang. Disitu Hamka mempelajari ilmu Agama dan mendalami Bahasa
Arab.
b.
Pemikiran Pendidikan
Pendidikan dalam pandangan Hamka terbagi 2 bagian, Yaitu :
1.
Pendidikan
Jasmani, pendidikan untuk pertumbuhan & Kesempurnaan Jasmani serta,
2.
Pendidikan
Ruhani, Pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan
& pengalaman yang didasarkan pada agama.
Keduanya memiliki kecenderungan untuk berkembang dengan melalui
pendidikan, Karena pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam
menentukan perkembangan secara optimal kedua unsur tersebut. Dalam pandangan
islam kedua unsur tersebut dikenal dengan istilah fitrah. Titik sentral
pemikiran Hamka dalam pendidikan islam adalah “ fitrah pendidikan tidak saja
pada penalaran semata, tetapi juga Akhlakul karimah. “
Fitrah setiap manusia pada dasarnya menuntun untuk senantiasa
berbuat kebajikan & tunduk mengabdi sebagai kholifah fi al-ardh maupun
‘Abdulloh. Ketiga unsur tersebut adalah Akal, Hati, & panca indra yang
terdapat pada jasad manusia. Perpaduan ketiga unsur tersebut membantu manusia
untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun peradabannya, memahami fungsi
kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Alloh.
Tujuan pendidikan dalam pandangan Hamka adalah “ Mengenal dan Mencari keridhoan Alloh,
membangun budi pekerti untuk berakhlaq mulia, serta mempersiapkan peserta didik
untuk hidup secara layak dan berguna ditengah-tengah komunitas sosialnya. “
3.
Mahmud Yunus
a.
Riwayat Hidup
Prof. DR. H. Mahmud Yunus dilahirkan di Batu Sangkar pada tanggal
10 Februari 1899 dan wafat pada tanggal 16 Januari 1982. Sejak kecil, mahmud
yunus sudah memperlihatkan minat dan kecenderungannya yang kuat untuk
memperdalam ilmu agama islam. Ketika berumur 7 tahun, ia belajar membaca
Al-Qur’an dibawah bimbingan kakeknya Muhammad Thahir yang dikenal dengan nama
Engku Gadang. Setelah menamatkan Al-Qur’an, ia menggantikan kakekknya sebagai
guru ngaji Al-Qur’an. Dua tahun kemudian, ia melanjutkan study ke sekolah desa
dan kemudian melanjutkan study ke Madras School. Selanjutnya pada tahun 1917,
ia bersama teman-temannya mengajar di Madras School dengan memperbaru isi
sistem belajar-mengajar dengan menambah sistem halaqah disamping sistem
madrasah dengan menggunakan kitab-kitab Mutakhir.
Dengan bekal kemampuan bahasa arab yang sangat baik, pada tahun
1924 Mahmud Yunus melanjutkan studynya ke Universitas Al-Azhar Chairo, Mesir.
Disana ia memperdalam ilmu-ilmu Agama dan bahasa Arab. Setelah lulus dari
Universitas Al-azhar, ia melanjutkan studinya ke Darul Ulum dan mendapatkan
gelar Diploma dengan spesialisasi dalam bidang pendidikan.
b.
Pemikiran Pendidikan
Menurut Mahmud Yunus, Pendidikan adalah suatu bentuk pengaruh yang
terdiri dari ragam pengaruh yang terpilih berdasarkan tujuan yang dapat
membantu anak-anak agar berkembang secara jasmani, akal dan pikiran. Dalam
prosesnya ada upaya yang harus dicapai agar diperoleh hasil yang maksimal dan
sempurna, tercapai kehidupan harmoni secara personal dan sosial. Segala bentuk
kegiatan yang dilakukan menjadi lebih sempurna, kokoh, dan lebih bagus bagi
masyarakat.
Dari aspek tujuan pendidikan islam. Berkaitan dengan tujuan pokok
pendidikan islam, mahmud Yunus merumuskan dua hal, yaitu untuk kecerdasan
perseorangan dan kecerdasan mengerjakan pekerjaan. ada yang berpendapat bahwa
tujuan pendidikan islam ialah mempelajari serta mengetahui ilmu-ilmu agama
islam dan mengamalkannya, seperti ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan lain
sebagainya. Tujuan inilah yang dipaksa oleh madrasah-madrasah diseluruh dunia.
Bahkan ada ulama yang mengharamkan mempelajari ilmu pengetahuan umum seperti
fisika & kimia. Tujuan seperti inilah menurut Mahmud Yunus yang membuat
islam lemah dan tidak bisa mempartahankan kemerdekaannya.
Tujuan Pendidikan islam menurut mahmud Yunus ialah menyiapkan
anak-anak didik agar dewasa kelak mereka sanggup dan cakap melakukan pekerjaan
dan amalan akhirat, sehingga tercipta kebahagiaan dunia dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Aly.
Herry Noer, 2003. Transformasi Otoritas keagamaan. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama
Kurniawan.Samsul
dan Erwin Makhrus,2011.Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan
Islam.Yogyakarta:Ar-Ruzz Media
http://islamiceducation001.blogspot.co.id/2014/05/tokoh-tokoh-pendidikan-islam-dari.html